wb_sunny

Breaking News

Abon Ikan Cakalang Tolitoli Rasa Enak Mantap Call/WA 0877-7536-5814 | Antar Jemput Galon Air Minum Sehat Segar Daerah Tondo WA 0895-3101-8571 | Kue Basah SARI RASA Terima Pesanan Kota Palu WA IG: @sarirasapalu | Bisnis Anda Ingin Dikenal Lebih Luas di Sulteng? Iklankan di Sini Sekarang! Hubungi Kita di media@medianetwork.my.id | 081288284898

Secangkir Kopi di Ujung Senja dan Renungan tentang Literasi Pemuda

Secangkir Kopi di Ujung Senja dan Renungan tentang Literasi Pemuda


Oleh Hasman Dwipangga*


SENJA memeluk langit dengan lembutnya, sementara aku duduk menikmati secangkir kopi. Tak lama kemudian, suara azan magrib bertalu, menyapaku pelan pelan dari kejauhan, mengingatkanku akan kewajiban yang tak terputus.

Dari rooftop bangunan Asrama Mahasiswa Tolitoli di Ciputat itu, aku merenungi betapa pentingnya menepi sejenak untuk melihat senja, memahami pergantian waktu secara kontemplatif.

Dari paduan rinai warna senja petang itu, pikiranku berkelana jauh lalu menukik pada perenungan tentang pemuda akhir zaman, yang seharusnya lebih dari sekadar penghuni dunia. Mereka adalah penjaga waktu, mengejar magrib dengan langkah bijak.

Kopi yang pahit pun beralih manis dengan keindahan simfoni religiusitas. Ia berkelindan dalam kerumunan karena nongkrong bukan hanya sekadar berkumpul, tapi juga sebuah ibadah yang mengalir dalam kesadaran.

Malam itu, temaram malam menyaksikan aku membuka sebuah buku dengan penuh kekaguman. Halaman 8 membawaku pada sebuah tradisi yang terkubur, tradisi membaca yang telah hilang tanpa jejak. Namun, di sana tersemat sebuah kutipan, mengajak semua kalangan untuk menyemarakkan dakwah bil kitabah, dakwah bil qalam. Dakwah melalui tradisi baca dan tulisan.

Sayangnya, Indonesia, meski dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia, terperosok pada peringkat terbawah dalam minat membaca. Namun, harapanku terangkat ketika melihat Jepang, yang meski bukan mayoritas muslim, mampu menjadikan literasi sebagai landasan peradaban.


Mengembalikan Gemerlap Tradisi Literasi

Kita, umat muslim, diminta untuk kembali pada perintah Tuhan: iqra’. Kembali pada akar dakwah yang menyentuh melalui tulisan. Deni Darmawan, dalam “Menulis itu Gampang”, buku yang saya baca malam itu, mengajak kita pada sebuah refleksi tentang kehilangan tradisi literasi dan urgensi untuk membangkitkannya.

Bukan hanya sekadar membaca dan menulis, literasi adalah sebuah semangat peradaban dan kebangkitan. Sebuah panggilan untuk membangun ilmu pengetahuan, mengembangkannya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini menurutku amat mendasar. Sebab, sebagai khalifah di bumi, kita ditugaskan untuk mengelola, melestarikan, dan memanfaatkan pengetahuan demi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta.

Dengan memperkaya diri melalui literasi, kita tak sekadar menyala-nyala dalam kegelapan, tapi juga menjadi cahaya yang menerangi generasi-generasi mendatang. Mari, dengan pena dan kertas, kita bersama-sama menulis sejarah literasi yang gemilang bagi bangsa dan umat manusia.[]

*) Hasman Dwipangga, penulis adalah mahasiswa asal Tolitoli pada Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) Jakarta

Tags